Nasib Produksi Lokal TRI di Tengah Insentif Mobil Listrik

Nasib Produksi Lokal TRI di Tengah Insentif Mobil Listrik

bontangpost.co.id – Industri otomotif Indonesia sedang mengalami pergeseran besar dengan hadirnya era elektrifikasi. Pemerintah gencar memberikan insentif untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik (EV), termasuk melalui kebijakan bea masuk 0% dan pajak dalam negeri yang lebih rendah. Namun, di balik euforia ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana nasib produsen lokal seperti PT Teknologi Rekayasa Indonesia (TRI), yang bergerak di bidang manufaktur dan perakitan kendaraan dalam negeri?

Gelombang Baru: Masuknya Raksasa Global Seperti BYD

Tahun 2024 menjadi penanda penting masuknya produsen mobil listrik raksasa dunia seperti BYD (Build Your Dreams) ke pasar Indonesia. Dengan dukungan insentif penuh dari pemerintah, BYD dan beberapa merek Cina lainnya mulai mendominasi lini penjualan mobil listrik nasional.

Masuknya BYD membawa angin segar bagi konsumen berkat harga yang lebih terjangkau dan teknologi canggih. Namun, hal ini sekaligus menimbulkan tantangan serius bagi produsen lokal yang selama ini mengandalkan dukungan terhadap konten lokal dan proteksi industri.

TRI dan Komitmen Produksi Lokal

PT TRI dikenal sebagai salah satu pionir manufaktur kendaraan di dalam negeri yang mengusung komponen lokal tinggi. Perusahaan ini merakit kendaraan dengan dukungan rantai pasok nasional, membuka lapangan kerja lokal, serta mendukung pengembangan teknologi domestik. Namun, dengan adanya insentif besar-besaran untuk produk impor, posisi TRI menjadi terdesak.

Tanpa insentif yang seimbang, produk TRI bisa kalah saing secara harga maupun teknologi, meskipun memiliki nilai tambah tinggi dalam negeri. Situasi ini memperkuat kekhawatiran akan deindustrialisasi, di mana produsen lokal kalah bersaing di kandang sendiri.

Kebijakan Insentif: Dualitas Kepentingan

Pemerintah menghadapi dilema antara menarik investasi asing dan menjaga keberlangsungan industri nasional. Di satu sisi, insentif untuk merek seperti BYD bertujuan mendorong percepatan elektrifikasi dan mengurangi emisi. Di sisi lain, kebijakan ini menekan industri perakitan lokal yang belum memiliki skala ekonomi sebesar raksasa otomotif global.

Transisi menuju kendaraan listrik seharusnya tidak mengorbankan ekosistem manufaktur dalam negeri. Pemerintah perlu merancang skema insentif yang adil—misalnya, memberikan insentif lebih besar kepada produk yang memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) tinggi, termasuk TRI.

Solusi: Kolaborasi dan Regulasi Adaptif

Agar tidak terjadi “kolonialisasi industri otomotif” oleh merek asing, perlu dibangun model kolaborasi antara produsen lokal dan asing. BYD cs bisa diwajibkan untuk melakukan alih teknologi dan menggandeng perusahaan lokal seperti TRI sebagai mitra produksi atau distribusi.

Selain itu, regulasi insentif harus bersifat dinamis dan berpihak pada pertumbuhan industri nasional jangka panjang. Mendorong investasi untuk produksi baterai dan komponen utama di Indonesia bisa menjadi game-changer dalam menjaga keseimbangan antara investasi asing dan kekuatan domestik.

Penutup: Menata Ulang Arah Elektrifikasi Nasional

Nasib produksi lokal seperti TRI bergantung pada keberanian pemerintah dalam mengatur ulang peta kebijakan industri otomotif. Jika tidak disikapi serius, transformasi menuju mobil listrik bisa menjadi bumerang bagi industri nasional. Indonesia harus memastikan bahwa transisi energi ini bukan hanya tentang mengganti mesin, tetapi juga membangun kemandirian dan keadilan ekonomi di dalam negeri.

Comment