Kritik Publik terhadap Cara DPR Mempercepat RUU Penyesuaian Pidana

Percepatan pembahasan RUU Penyesuaian Pidana oleh DPR menuai kritik luas dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai bahwa langkah DPR yang mempercepat proses legislasi ini tidak diiringi dengan transparansi dan partisipasi publik yang memadai. Kritik tersebut bukan semata soal kecepatan, tetapi lebih kepada cara percepatan dilakukan, serta bagaimana proses itu mempengaruhi kredibilitas pembentukan hukum di Indonesia.

Salah satu kritik paling menonjol datang dari kelompok masyarakat sipil yang menyoroti minimnya akses publik terhadap draf RUU secara lengkap. Tanpa draf yang terbuka, masyarakat sulit memberikan masukan substantif. Padahal, pembahasan mengenai pemidanaan merupakan bagian penting yang menyentuh hak warga negara. Transparansi seharusnya menjadi fondasi legislasi, terutama ketika aturan yang dibahas memiliki konsekuensi luas terhadap kehidupan sosial.

Selain masalah akses informasi, publik juga mempertanyakan kecepatan pembahasan yang dianggap tidak proporsional dengan kompleksitas materi. RUU yang berisi banyak perubahan mendasar memerlukan waktu analisis yang panjang, serta dialog intensif dengan para ahli hukum pidana, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Percepatan yang terlalu agresif dikhawatirkan membuat banyak isu penting terlewat atau tidak dikaji secara optimal.

Kritik juga diarahkan pada kecenderungan DPR untuk lebih fokus mengejar penyelesaian target legislasi ketimbang kualitas pembahasan. Dalam beberapa periode, percepatan pembahasan RUU kerap dijadikan alat pembuktian kinerja. Namun publik menilai bahwa pendekatan tersebut dapat mengorbankan kualitas undang-undang yang dihasilkan. Ketika kualitas diabaikan, risiko munculnya pasal bermasalah menjadi lebih besar, yang pada akhirnya menyulitkan penegakan hukum di kemudian hari.

Kelompok akademisi memberikan kritik dari sisi akademik dan prosedural. Mereka menilai bahwa pembahasan tidak boleh hanya memenuhi formalitas rapat, tetapi harus melibatkan kajian mendalam. Aspek-aspek krusial seperti potensi kriminalisasi berlebihan, ketidaksesuaian dengan prinsip hukum pidana, hingga dampak terhadap hak asasi manusia, seharusnya dibahas secara komprehensif. Tanpa proses tersebut, legislasi dinilai tidak memenuhi standar akademik dan etis.

Di tengah kritik-kritik tersebut, DPR tetap berpegang pada alasan bahwa percepatan diperlukan untuk menyelesaikan agenda legislasi prioritas dan menjawab kebutuhan pembaruan hukum. Namun publik menegaskan bahwa alasan tersebut tidak boleh mengabaikan prinsip inklusivitas dan transparansi. Dalam negara demokrasi, legitimasi undang-undang tidak hanya berasal dari lembaga yang berwenang, tetapi juga dari keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukannya.

Perdebatan ini menunjukkan bahwa kualitas proses legislasi merupakan faktor utama dalam menjaga kepercayaan publik. Kritik yang muncul merupakan bagian dari kontrol demokratis yang wajar, dan seharusnya menjadi masukan bagi DPR agar pembahasan RUU Penyesuaian Pidana tidak hanya cepat, tetapi juga tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.