bontangpost.co.id – Komunikasi kesehatan memiliki peran vital dalam menyampaikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya kepada masyarakat. Namun, sering kali pesan-pesan kesehatan kehilangan akurasi karena perbedaan antara data ilmiah dan cara penyampaian (diksi) yang digunakan kepada publik.
Dalam upaya menyederhanakan istilah medis atau temuan ilmiah, banyak pesan kesehatan justru menjadi bias atau menyesatkan. Misalnya, istilah “efektivitas vaksin” sering disalahartikan sebagai “jaminan tidak tertular”, padahal secara ilmiah artinya adalah pengurangan risiko secara signifikan, bukan perlindungan mutlak.
Masalah ini semakin kompleks ketika media sosial menjadi saluran utama informasi. Demi menarik perhatian, banyak informasi kesehatan dikemas dengan judul sensasional yang mengorbankan konteks dan keakuratan. Akibatnya, masyarakat bisa mengambil keputusan kesehatan berdasarkan pemahaman yang keliru.
Penting bagi para tenaga kesehatan, jurnalis, dan pembuat konten untuk lebih cermat memilih diksi yang sesuai dengan data. Penyampaian yang sederhana bukan berarti harus mengorbankan kebenaran. Justru, komunikasi yang baik harus mampu menjembatani antara kompleksitas data dan kebutuhan masyarakat untuk memahami informasi secara jelas dan benar.
Solusinya bukan hanya soal memperbaiki pesan, tetapi juga meningkatkan literasi kesehatan publik. Masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis dalam menerima dan menyaring informasi. Kolaborasi antara ahli kesehatan, ahli komunikasi, dan media menjadi kunci dalam menjaga akurasi informasi kesehatan di tengah banjir data digital saat ini.
Comment