bontangpost.co.id – Kebijakan mengirim siswa yang dianggap “nakal” ke barak pelatihan kembali menuai sorotan. Meski bertujuan mendisiplinkan dan membina karakter, langkah ini dikhawatirkan bisa menimbulkan persepsi diskriminatif dan memecah belah masyarakat.
Pemerintah daerah menegaskan bahwa program ini bukan bentuk hukuman, melainkan upaya pembinaan yang melibatkan pendekatan militer ringan, bimbingan moral, dan pelatihan keterampilan. Namun, banyak pihak menilai pendekatan tersebut perlu dilakukan secara hati-hati dan adil, tanpa memberi label negatif pada anak-anak yang sedang mencari jati diri.
Para ahli pendidikan mengingatkan pentingnya memprioritaskan pendekatan humanis dan inklusif, yang mendidik tanpa mengucilkan. Mengklasifikasikan siswa tertentu sebagai “nakal” bisa memperkuat stigma sosial, membatasi ruang mereka untuk tumbuh, dan justru memperparah perilaku bermasalah.
Transisi menuju kebijakan pembinaan yang lebih menyeluruh dan partisipatif menjadi penting.
Masyarakat pun diharapkan tak hanya melihat masalah kenakalan dari permukaan. Anak-anak yang berperilaku menyimpang sering kali menyimpan cerita yang lebih kompleks—tentang tekanan, kekerasan, atau kebutuhan akan perhatian yang belum terpenuhi. Bila kebijakan tak disertai empati dan pendampingan yang tepat, harapan menciptakan generasi tangguh justru bisa bergeser menjadi sumber perpecahan sosial.
Pendekatan yang bijak dan berkeadilan menjadi kunci. Karena membina anak bangsa tak bisa dilakukan dengan pemaksaan, melainkan dengan pemahaman, kepercayaan, dan dukungan yang berkelanjutan.
Comment